Resensi Novel Mereka Bilang Saya Monyong



SINOPSIS NOVEL
Mereka Bilang Saya Monyong bukanlah plesetan karya Djenar Maesa Ayu yang telah ada filmnya itu, ceritanya jauh berbeda. Meskipun mengangkat potret seorang vampir, novel ini bukan pula parodi Twilight yang masih bergaung-gaung sampai sekarang.
 Ini kisah tentang Edwin, seorang yang merasa minder karena tonggos semasa hidupnya. Setiap akan bertemu seorang wanita di sekolahnya ia selalu tertunduk malu, dan tidak menyapa, mereka menganggap Edwin sombong karena tidak mau menyapa. Ringkas cerita, Edwin berlari ke sebuah hutan, dan disana Edwin digigit oleh seorang vampir wanita, dan akhirnya Edwin pun menjadi seorang vampir. Sebagai vampir baru yang menderita minder dan serba salah, mangap dibilang tonggos, mingkem dibilang monyong. Alih-alih takut, para calon mangsanya justru geli melihat taringnya yang terlalu maju untuk ukuran vampir yang bukan pelawak. Bersama keluarga barunya, para vampir dengan masa lalu yang sangat dramatis, Edwin mendalami dunia pervampiran. Akhirnya Edwin meraih cinta wanita yang akan menjadi pasangan abadinya.
 Tempelan Novel Gokil di sampul muka bisa menerbitkan bahwa penulis akan berjuang mengocok perut, menggelitik, dan mendorong kita untuk tertawa. Tetapi aroma remaja yang biasanya di tebarkan oleh buku-buku sejenis pun tidak kental benar. Misalnya penulis menggunakan “saya” bukan “aku” apalagi “gue”. Urusan romansa tidak jadi menu utama. Kemudian pemilihan nama karakter mencirikan orang Indonesia, seperi seorang wanita yang bernama Trinil.

 Keberadaan karya fiksi satu ini mengukuhkan pendapat saya bahwa menulis sesuatu yang lucu dalam arti lucu di mata semua orang, tanpa peduli kalangan dan usia sungguh sukar. Juga dalam format parodi. Yang terpancar dari membaca buku ini adalah keseriusan penulis mengenai bahasa dan sejarah.
 Omesh berlagak gak peduli. Dia sibuk membaca buku gokil yang sedang ngetrend di Indonesia. “wakakak…begitukah cara menuliskan suara ketawa dalam bahasa Indonesia? Apa bedanya dengan ‘hehehe’?..
 Tiap hari dia dihujani pertanyaan yang menurut saya gak penting, seperi asal mula kata ‘gubrak’ atau kenapa novel lucu yang dibaca tidak membuat omesh tertawa. (hal.94)
 Secara implisit, penulis menyampaikan agar pembaca tidak mengharapkan pembaca sampai ketawa mengguling-guling sampai mengompol. Penulis lebih sibuk menghadirkan karakter yang tidak jamak. Dibandingkan berusaha melucu. Tentu saja, tidak lucu bukan berarti tidak menghibur.
 “…kami singgah di sini karena dia ingin melihat dari dekat patung Daendels dan Pangeran Kornel Wirakusumah. Papa Calmet tertarik dengan fakta bahwa Pangeran Kornel menyalami Daendels dengan tangan kiri. Menurutnya itu adalah simbol, merupakan sikap menentang dan tidak respeknya Pangeran Kornel pada si Daendels. Tapi Daendels enggak ngeh…”(hal.95)
Dalam perjalanan ceritanya, Edwin banyak sekali mencari tahu sejarah masing-masing anggota keluarga papa Calmet sampai menjadi vampire. Alhasil Edwin diceritakan satu per satu oleh Helen dan Trinil. Trinil menjadi vampire saat seorang kakek tua yang duduk disampingnya di metro mini menghipnotis Trinil sehingga Trinil dengan mudah diajak ke suatu rumah di hutan dimana Trinil akan dihisap darahnya dan menjadi vampir .Helen yang menjadi vampire setelah putus asa saat lamarannya dengan seorang pangeran tidak jadi hanya karena tangannya terdapat luka/cacat yang kemudian berusaha untuk bunuh diri. Mama Laura yang menjadi vampire untuk membuktikan kesetiaanya pada kekasihnya saat itu yang akhirnya direbut oleh Le Fanu dengan kekuatan hipnotisnya.

Omesh menjadi vampire saat dia sedang tidur dan tiba-tiba ada seorang vampire yang lagi haus akan darah mendatanginya. Sedangkan papa Calmet yang saat itu sedang putus asa berusaha bunuh diri tetapi dia de javu dan melihat mama Laura dan akhirnya papa Calmet lebih memilih ikut bersama Mama Laura. Hari-hari Edwin menjadi seorang vampire dijalani bersama dengan Trinil dan anggota keluarga lainnya. Sampai suatu saat Trinil mulai menyukai Edwin dan akhirnya mereka jadian. Dan akhirnya Edwin mendapatkan cinta seorang wanita yang akan menjadi pasangan abadinya.
 Secara tersirat menjadikan pembaca penasaran untuk berjalan-jalan ke Cadas Pangeran, Sumedang. Setiapa bagian cerita ke bagian cerita yang lain membuat penasaran dan pembaca ingin cepat menyelesaikan membaca novel ini dan mengetahui akhir cerita. Selain itu banyak hal-hal lucu yang diceritakan dalam novel ini. Nilai plus lain, penyuntingannya tergolong cermat dan tertata dibandingkan buku-buku sejenis yang sama.
 Novel ini patut untuk dibaca dan dimiliki, karena isi cerita dari novel ini menceritakan kisah cinta dan kekeluargaan, dan akhir dari cerita novel ini membuat seseorang dapat saling menghargai dan tidak minder karena memiliki sebuah kekurangan.

ANALISIS UNSUR
Unsur Intrinsik
·         Tema                          :  Kisah  Cinta dan Kekeluargaan
·         Alur                             : Campuran (maju mundur)
Dapat dilihat dari cerita yang mengisahkan kembali cerita masa lalu (alasan menjadi vampire).
·         Sudut Pandang       : Orang Ketiga
Dapat dilihat pada dialog yang diakhiri dengan nama tokoh. Seperti: “Bentar lagi nyampe. Nanti kamu pura-pura ketakutan ya?” bisik Ruben.
·         Latar/Setting             :
-       Di Rumah Trinil                                      - Istana Vampir
-       Di Rumah Papa Calmet                       - Aula Sekolah
-       Hutan
-       Di Rumah Linda
·         Penokohan               :
-       Trinil                                                         - Dom Agustin Calmet
-       Edwin                                                       - Omesh Gomesh
-       Hellena Carmilla                                                - Ruben
-       Laura Belluci                                          - Le Fanu
                                                                 
·         Watak                         :
-       Trinil                                 :
Tidak sabar, baik, mudah putus asa, mudah percaya orang lain.
Misalnya dalam kalimat, “…Tapi eloe kan lagi program diet, seharusnya jangan mencoba sama sekali dong!. “Gue gak tahan. Baunya enak sekali, persis bau kue apem buatan ibu gue dulu, Trinil menerawang.” (hal. 35)
-       Edwin                               :
Baik, pendiam, minder, suka memendam perasaan, ingin tahu.
Misalnya dalam kalimat,” …soalnya saya malu memamerkan gigi saya yang tonggos. Belum lagi bibir saya yang tebal. Sungguh perpaduan yang baik sekali untuk membuat saya minder.” (hal. 14)
-       Hellena Carmilla                        :
Jahil, Sensitive, tidak sabar, mudah percaya, mudah terpedaya pria, malu akan kekurangannya, berpikiran pendek.
Misalnya dalam kalimat,” …selain insiden semalam itu, ketika dia melarikan diri atas bantuan eloe,” Hellen menggoda,” dia ga pernah macem-macem lagi. Malah menurut gue , insiden itu justru membuktikan kalo kalian pasangan yang saling mendukung, hehehe.” (hal. 81)
-       Laura Belluci                  :
Baik, suka mengeluarkan ide gila, penuh perjuangan, romantic, setia.
Misalnya dalam kalimat,” …akan aku jalani apa pun demi bisa bersamamu sepanjang waktu. Please, lakukanlah demi aku sayang.” (hal. 99)
-       Dom Agustin Calmet     :
Mudah putus asa, suka mengeluarkan ide gila, tegas.
Misalnya dalam kalimat,”…aku memang picik ingin mengakhiri hidup dengan jalan ini. Tapi aku ga punya pilihan lain. Aku merana, sangat kesepian, dan…jadi Tuhan aku akan melompat, Calmet menunduk.” (hal. 110)
-       Le Fenu                           :
Iri terhadap kebahagiaan orang lain, egois.
Misalnya dalam kalimat,”…Le Fanu menghipnotis kekasih Laura untuk melompat ke dalam api.” (hal. 103)
-       Omesh Gomesh             :
Rakus, baik.
Misalnya dalam kalimat,”…ah bisa aja, loe! Ya loe bayangin ajalah. Biasanya Omesh nyantap banteng, harimau, ato beruang, waktu di Afrika dia malah nyantap gajah.” (hal. 126)
-       Ruben                              :
Jahil, genit.
Misalnya dalam kalimat,”…Ruben bersama dengan teman-temannya mengucapkan selamat ulang tahun pada Edwin dan mengujani Edwin dengan tepung terigu dan telur.” (hal. 13)
·         Amanat                      :
-       Hargailah diri sendiri karena tidak ada satu orang pun manusia yang sempurna.
-       Tidak boleh mengejek teman yang memiliki kekurangan.
-       Jadikanlah kekurangan yang ada pada diri sendiri sebagai kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
-       Orang tua harus memberikan perhatian terhadap perkembangan anaknya.
Unsur Ekstrinsik
Nilai Religius            :
-       Janganlah menjadi orang yang iri hati.
Dapat dilihat dari Le Fenu yang berusaha merebut Laura dari kekasihnya saat itu dengan menggunakan cara apapun. Bahkan setelah itu dia menghipnotis Laura agar menyukainya. (hal. 103)
Nilai Moral     :
-       Saling menghargai dan jangan mengatai seseorang karena memiliki sebuah kekurangan.
Dapat dilihat dari Edwin yang memiliki kekurangan karena giginya yang tonggos dan bibirnya yang tebal selalu dicemooh teman-temannya sampai membuat Edwin minder.
Nilai Sosial    :
-       Seorang sahabat akan menerima, memahami bagaimanapun keadaannya.
Dapat dilihat dari sikap Trinil yang awalnya menertawakan kekurangan Edwin lama kelamaan Trinil dapat menerima Edwin dengan segala kekurangannya.
Nilai Estetis   :
Dapat dilihat dari setiap dialog antara Edwin, Hellen, dan Trinil yang menyelipkan hiburan berupa candaan. Misalnya pada,” …wakakaak…ya ampun parah loe!...seumur hidup gue, baru kali ini gue liat orang semancung loe dibagian bibir,wakakakkaak!” (hal. 29)
Nilai Budaya :
Dalam cerita ini, Edwin yang lari ke hutan sempat merasa khawatir karena menurut orang tuanya kalau pergi ke hutan malam-malam maka dia tidak akan kembali dengan selamat.





Comments