Berbicara Sebagai Keterampilan Berbahasa

PEMBAHASAN
Keterampilan Berbicara
A.  Hakikat Berbicara
Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain (Depdikbud, 1984/1985:7). Pengertiannya secara khusus banyak dikemukakan oleh para pakar.
Tarigan (1983:15), misalnya, mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Mugrave (1954:3-4) mengemukakan pendapat bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran.
Berbicara pada hakikatnya merupakan suatu proses berkomunikasi sebab didalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ketempat lain. Proses komunikasi itu dapat digambarkan dalam bentuk diagram berikut ini :








Dalam proses komunikasi terjadi pemindahan pesan dari komunikator (pembicara) kepada komunikan (pendengar). Komunikator adalah seseorang yang memiliki pesan. Pesan yang akan disampaikan kepada komunikan lebih dahulu diubah ke dalam symbol yang dipahami oleh kedua belah pihak. Symbol tersebut memerlukan saluran agar dapat dipindahkan kepada komunikan.
Bahasa lisan adalah alat koumunikasi berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Saluran untuk memindahkannya adalah udara.
Selanjutnya, symbol yang disalurkan lewat udara diterima oleh komunikan. Karena symbol yang disampaikan itu dipahami oleh komunikan, ia dapat mengerti pesan yang disampaikan oleh komunikator.
Tahap selanjutnya, komunikan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik adalah reaksi yang ditimbul setelah komunikan memahami pesan. Reaksi dapat berupa jawaban atau tindakan. Dengan demikian, komunikasi yang berhasil ditandai oleh adanya interaksi antara komunikator dengan komunikan.
Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi akan mudah dipahami dengan cara mempertimbangkan diagram komunikasi dengan diagram peristiwa berbahasa. Brooks (Tarringan, 1983:12) menggambarkan alur peristiwa bahasa berikut ini:


Berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neulogis, semantik dan linguistik. Pada saat berbicara seseorang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bahkan organ tubuh yang lain seperti kepala, tangan, dan roman muka pun dimanfaatkan dalam berbicara. Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar terhadap kelancaran berbicara. Stabilitas emosi, misalnya, tidak saja berpengaruh terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh alat ucap tetapi juga terpengaruh terhadap keruntutan bahan pembicaraan. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis yaitu jaringan saraf yang menghubungkan otak kecil dengan mulut, telinga, dan organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara. Demikian pula faktor semantik yang berhubungan dengan makna, dan faktor lingustik yang berkaitan dengan struktur bahasa selalu berperan dalam kegiatan berbicara. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan kata-kata harus disusun menurut aturan tertentu agar bermakna.
            Berbicara merupakan tuntutan manusia sebagai makhluk sosial (homo homine socius) agar mereka dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Stewart dan Kenner Zimmer (Depdikbud, 1984/85:8) memandang kebutuhan akan komunikasi yang efektif dianggap sebagai suatu yang esensial untuk mencapai keberhasilan dalam setiap individu, baik aktivitas individu maupun kelompok. Kemampuan yang baik sangat dibutuhkan dalam berbagai jabatan pemerintahan, swasta, maupun pendidikan. Seorang pemimpin, misalnya, perlu menguasai keterampilan berbicara agar dapat menggerakkan masyarakat untuk berpartisifasi terhadap program pembangunan. Seorang pedagang perlu menguasai keterampilan berbicara agar dapat meyakinkan dan membujuk calon pembeli. Demikian halnya pendidik, mereka dituntut menguasai keterampilan berbicara agar dapat menyampaikan informasi dengan baik kepada anak didiknya.
a)        Berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa
Linguis berkata bahwa “speaking is language”. Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari. Berbicara sangat berhubungan dengan perkembangan kosa kata anak melalui kegiatan menyimak dan membaca.
b)       Berbicara sebagai cara berkomunikasi
Manusia adalah makhluk sosial, dan tindakannya yang pertama dan yang paling penting adalah tindakan sosial, suatu tindakan tempat saling mempertukarkan pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan perasaan, atau saling mengekspresikan serta menyetujui sesuatu pendirian atau keyakinan. Oleh karena itu maka di dalam tindakan sosial haruslah terdapat elemen-elemen yang umum, yang sama-sama disetujui dan dipahami oleh sejumlah orang yang merupakan suatu masyarakat. Untuk menghubungkan sesama anggota masyarakat maka diperlakukan komunikasi.
Komunikasi mempersatukan para individu ke dalam kelompok-kelompok dengan jalan menghablurkan konsep-konsep umum, memelihara serta mengawetkan ikatan-ikatan kepentingan umum, menciptakan suatu kesatuan lambing-lambang yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain, dan menetapkan suatu tindakan tersebut tidak aka nada serta dapat bertahan lama tanpa adanya masyarakat-masyarakat bahasa. Dengan perkataan lain : masyarakat berada dalam komunikasi linguistik.
Ujaran sebagai suatu cara berkomunikasi sangat mempengaruhi kehidupan-kehidupan individual kita. Dalam system inilah kita saling bertukar pendapat, gagasan, perasaan, keinginan, dengan bantuan lambang-lambang yang disebut kata-kata. Sistem inilah yang memberi keefektifan bagi individu dalam mendirikan hubungan mental dan emosional dengan anggota-anggota lainnya. Agaknya tidak perlu disangsikan lagi bahwa ujaran hanyalah merupakan ekspresi dari gagasan-gagasan pribadi seseorang, dan menekankan hubungan-hubungan yang bersifat dua arah, memberi – dan – menerima. (Powers, 1954 :5-6).
c)    Batasan dan Tujuan Berbicara
Berbicara  adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari batasan ini dapat kita katakan bahwa berbicara merupakan suatu system tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-idenya yang dikombinasikan. Lebih jauh lagi, berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan factor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial.
Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogyanyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap (para) pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Apakah sebagai alat sosial ataupun sebagai alat perusahaan maupun professional, maka pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu :
1. Memberitahukan, melaporkan (to inform)
Memberitahukan/menginformasikan bersuasana serius, tertib dan hening. dalam bebicara mengnformasikan pembicara berusaha berbicara jelas, sistematis, dan tepat isi agar informasi benar-benar terjaga keakuratannya.
2. Menjamu, menghibur (to entertain)
Menghibur biasanya bersuasana santai, rileks, dan kocak. Soal pesan bukanlah tujuan utama. Namun tidak berate bahwa berbicara menghibur tidak dapat membawakan pesan. Dalam berbicara menghibur tersebut pembicara berusaha membuat pendengarnya senang, gembira, dan bersukaria.
3.  Membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade)
Berbicara untuk meyakinkan merupakan tahap yang lebih jauh dari berbicara untuk menstimulasi. Disini pembicara berusaha unrtuk meyakinkan pendengar lewat pembicaraan yang meyakinkan, sikap pendengar akan diubah, misalnya dari menolak akan menerima. 
Selanjutnya perlu kita pahami beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, antara lain :
a. Membutuhkan paling sedikit dua orang. Misalnya, oleh orang yang sedang mempelajari bunyi-bunyi bahasa beserta maknanya, atau oleh seorang yang meninjau kembali pernyataan bank-nya atau oleh orang yang memukul ibu jarinya dengan palu.
b. Mempergunakan suatu sandi linguistik yang di pahami bersama. Bahkan andaikatapun dipergunakan dua bahasa, namun saling pengertian, pemahaman bersama itu tidak kurang pentingnya.
c. Menerima atau mengakui daerah referensi umum. Daerah referansi yang umum mungkin tidak terlalu mudah dikenal/ditentukan, namun pembicaraan menemukan kecenderungan untuk menemukan satu diantaranya.
d. Merupakan suatu pertukaran antara partisipan. Kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalan pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak.
e. Menghubungkan setiap pembicaraan dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera. Perilaku sang pembicara selalu berhubungan dengan response yang nyata atau yang diharapkan, dari sang penyimak, dan sebaliknya.
f. Berhubungan atau berkaitan dengan massa kini. Hanya dengan bantuan berkas grafik-material, bahasa dapat luput dari kekinian dan kesegeraan.
g. Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus).
h. Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil. (Brooks, 1964 : 30 – 31)
Analisis yang dilakukan oleh Woolbert (1927) bersifat khas serta mengandung modifikasi yang sering diremehkan orang, tetapi sebenarnya perlu mendapat perhatian. Dia menulis :
“Seorang pembicara pada dasarnya terdiri dari empat hal yang kesemuanya diperlukan dalam menyatakan pikiran/pendapatnya kepada orang lain.
1. Sang pembicara merupakan suatu kemauan, suatu maksud, suatu makna yang diinginkannya dimiliki orang lian, yaitu suatu pikiran.
2. Sang pembicara adalah pemakai bahasa, membentuk pikiran dan perasaan menjadi kata-kata.
3. Sang pembicara adalah sesuatu yang ingin disimak, ingin didengarkan, menyampaikan maksud dan tujuannya kepada orang lain melalui suara.
4. Sang pembicara adalah sesuatu tindakan yang harus diperhatikan dan dibaca melalui mata.”. (Knower, 1958 : 1331)
B.  Konsep Dasar Berbicara
Konsep dasar berbicara sebagai sarana berkomunikasi mencakup Sembilan hal, yakni:
1. Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal
Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaiatan erat dan tak terpisahkan, ibarat mata uang: satu sisi ditempati kegiatan berbicara dan sisi lainnya ditempati kegiatan menyimak. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, Tanya jawab, interviev dan sebagainya.
2. Berbicara adalah proses individu berkomunikasi
Berbicara adakalanya digunakan sebagai alat berkomunikasi dengan lingkungannya. Bila hal ini dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunakan sebagai sararana memperoleh pengetahuan mengadaptasi, mempelajari lingkungannya, dan mengontrol lingkungannya. Fungsi heuristic sering disampaikan dalam bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban.
3. Berbicara adalah ekspresi yang kreatif
Melalui berbicara kreatif, manusia melakukan tidak sekedar menyatakan ide, tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Tidak hanya dia menggunakan pesona ucapan kata dan dalam menyatakan apa yang hendak dikatakannya tetapi dia menyatakan secara murni, fasih, ceria dan spontan. Perkembangan persepsi dan kepekaan terhadap perkembangan keterampilan berkomunikasi menstimulasi yang bersangkutan untuk mencapai taraf kreatifitas tertinggi dan ekspresi intelektual. Bergantung pada si pembicaralah apakah dia mampu menjadikan berbicara (komunikasi lisan)  itu menjadi ekpresi kreatif atau hanya pendekatan belaka. Karena itu dikatakan berbicara tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan memformulasikan ide baru.
  1. Berbicara adalah tingkah laku
Berbicara adalah ekspresi pembicara. Melalui berbicara, pembicara sebenarnya menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian si pembicara. Berbicara juga merupakan dinamika dalam pengertian melibatkan tujuan pembicara kepada kejadian disekelilingnya kepada pendengarnya, atau kepada objek tertentu. Dalam bahasa Indonesia, kita juga menemui pribahasa ” Bahasa menunjukkan bangsa ”. makna pribahasa tersebut ialah cara kita berbahasa, bebbicara, bertingkah laku menggambarkan kepribadian kita. Dalam kepribadian tersebut telah terselip tingkah laku kita. Karena itu tepatlah bila dikatakan berbicara adalah tingkah laku.
  1. Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari
Berbicara sebagai tingkah laku, sudah dipelajari oleh siswa di lungkungan keluarga, tetangga, dan lingkungan lainnya di sekitar tempatnya hidup sebelum mereka masuk ke sekola. Keterampilan berbicara siswa harus dibina oleh guru melalui latihan :
1.      Pengucapan
2.      Pelafalan
3.      Pengontrolan suara
4.      Pengendalian diri
5.      Pengontrolan gerak-gerik tubuh
6.      Pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya
7.      Pemakaian bahasa yang baik
8.      Pengorganisasian ide
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanistis. Semakin banyak berlatih berbicara, semakin dikuasai keterampilan berbicara itu. tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui proses latihan. Berbicara adalah tingkah laku yang harus dipelajari, baru bias dikuasai.
  1. Berbicara distimulasi oleh pengalaman
Berbicara adalah ekspresi diri. Bila diri si pembicara terisi oleh pengetahuan dan pengalaman yang kaya, maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan pengetahuan dan pengalaman itu.
  1. Berbicara untuk memperluas cakrawala                                                         
            Paling sedikit berbicara dapat digunakan untuk dua hal. Yang pertama untuk mengekpresikan ide, perasaan dan imajinasi. Kedua, berbicara dapat juga digunakan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman.
  1. Keterampilan linguistik dan lingkungan
Anak-anak adalah produk lingkungan. Jika dalam lingkungan hidupnya ia sering diajak berbicara, dan segala pertanyaannya diperhatikan dan dijawab, serta lingkungan itu sendiri menyediakan kesempatan untuk belajar dan berlatih berbicara  maka dapat diharapkan anak tersebut terampil berbicara. Ini berarti si anak sudah memliki kemampuan linguistik yang memadai sebelum mereka memasuki sekolah.
  1. Berbicara adalah pancaran kepribadian
Gamabaran pribadi seseorang dapat diidentifikasi dengan berbagai cara. Kita dapat menduganya dari gerak-geriknya, tingkah lakunya, kecenderungannya, kesukaannya, dan cara bicaranya. berbicara pada hakikatnya melukisnya apa yang ada di hati, misalnya pikiran, perasaan, keinginan, idenya dan lain-lain. Karena itu sering dikatakan bahwa berbicara adalah indeks kepribadian.
C.  Jenis-Jenis Berbicara
Ada 5 (lima) landasan tumpu yang dapat digunakan dalam mengklasifikasikan berbicara (Tarigan, dkk: 1997/1998), yaitu:
a.    Situasi;
Berdasarkan situasi pembicaraan, berbicara dibedakan atas berbicara formal dan berbicara non formal. Berbicara informal meliputi bertukar pengalaman, percakapan, penyampaian berita, pengumuman bertelepon, dan memberi petunjuk. Adapun berbicara formal meliputi ceramah, perencanaan dan penilaian, wawancara, debat, diskusi, dan bercerita dalam situasi formal.
b.    Tujuan;
Tujuan berbicara pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:
1.    Berbicara untuk menghibur;
Berbicara untuk menghibur biasanya bersuasana santai. Contohnya pelawak, dalam hal ini si pembicara(pelawak) berusaha membuat pendengarnya senang dan gembira.
2.    Berbicara untuk menginformasikan;
Pembicara berusaha berbicara secara jelas, sistematis, dan tepat agar isi informasi terjaga keakuratannya. Contohnya, saat menerangkan cara kerja komputer kepada siswa, maka seorang guru sebagai pembicara harus menginformasikannya dengan jelas, sistematis, dan tepat agar dapat dimengerti siswa.
3.    Berbicara untuk menstimuli;
Di sini pembicara harus pandai mempengaruhi pendengar sehingga akhirnya pendengar tergerak untuk mengerjakan hal-hal yang dikehendaki pembicara. Pembicara biasanya secara sosial berstatus lebih tinggi daripada pendengarnya. Pembicara biasanya berusah membangkitkan semangat pendengarnya sehinnga ia bekerja atau belajar lebih tekun. Contohnya seorang guru menasihati siswanya yang malas mengerjakan tugas.
4.    Berbicara untuk meyakinkan,
Di sini pembicara bertujuan meyakinkan pendengar lewat pembicaraan yang meyakinkan, sikap pendengar akan diubah, misalnya dari menolak menjadi menerima. Dalam hal ini, pembicara baiasanya menyertakan bukti, fakta, contoh, dan ilustrasi yang tepat.
5.    Berbicara untuk menggerakkan.
Bertujuan menggerakkan pendengar agar mereka berbuat dan bertindak, seperti yang dikehendaki pembicara. Disini diperlukan keterampilan berbicara yang tinggi, kelihaian membakar emosi, kepintarannya memanfaatkan situasi, dan penguasaan terhadap massa. Misalnya pidato Bung Tomo yang membakar semangat para pemuda Surabaya sehingga mereka berani mati mempertahankan Surabaya dan menyerang penjajah.
c.    Jumlah pendengar;
Berdasarkan jumlah pendengar, jenis berbicara dapat dibedakan atas berbicara antarpribadi, berbicara dalam kelompok kecil, dan berbicara dalam kelompok besar. Berbicara antarpribadi terjadi bila seseorang berbicara dengan satu pendengar. Berbicara dalam kelompok kecil terjadi apabila ada kelompok kecil (3-5 orang) dalam pembicaraan itu. Berbicara dalam kelompok besar terjadi apabila pembicara berhadapan dengan pendengar dalam jumlah yang besar. Misalnya, mengajar dengan jumlah siswa yang cenderung banyak.
d.   Peristiwa khusus;
Jenis berbicara ini dapat diklasifikasikan menjadi 6 (enam) macam, yaitu pidato presentasi, penyambutan, perpisahan, jamuan, perkenalan, dan nominasi.
e.    Metode penyampaian.
Berdasarkan metode penyampaian, ada 4 (empat) jenis berbicara, yaitu metode mendadak (impromptu), metode tanpa persiapan (ekstemporan), metode membaca naskah, dan metode menghafal (Keraf, 1980:316, Dipodjono, 1982-38-39, Tarigan, 1983:24-25). Metode impromptu terjadi bila secara tiba-tiba seseorang diminta untuk berbicara di depan khalayak (tidak ada persiapan sama sekali. Metode tanpa persiapan adalah tanpa adanya persiapan naskah. Jadi, pembicara masih mempunyai waktu yang cukup untuk membuat persiapan-persiapan khusus yang berupa kerangka pembicaraan atau catatan-catatan penting tentang urutan uraian dari kata-kata yang harus disampaikan. Metode membaca naskah dipakai apabila pembicara akan menyampaikan suatu pernyataan kebijakan atau keterangan secara tertib dalam pidato-pidato resmi, pidato kenegaraan, pidato radio, dsb. Metode menghafal menunjukkan bahwa pembicara sudah mengadakan perencanaan, membuat naskah, dan menghafal naskah.


D.  Efektifitas Berbicara
Hal-hal yang perlu diperhatikan agar komunikasi bisa efektif adalah sebagai berikut:
  1. Adanya kesamaan kepentingan antara pembicara dan pendengar.
  2. Adanya sikap saling mendukung dari kedua belah pihak.
  3. Adanya sikap positif, artinya pikiran atau ide yang diutarakan dapat diterima.
  4. Sebagai sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi keduanya.
  5. Adanya sikap keterbukaan yang disampaikan kedua belah pihak.
  6. Adanya usaha dari masing-masing pihak untuk menempatkan diri dengan sebaik-baiknya (ada unsur empati) pada mitra bicara.
E.  Komponen Berbicara
Menurut Tarigan (1990:157), butir-butir atau komponen yang selalu terlibat dan mempengaruhi pembicaraan adalah:
  1. Pembicara;
  2. Pembicaraan;
  3. Penyimak;
  4. Media;
  5. Sarana penunjang;
  6. Interaksi;
F.   Bentuk-bentuk Berbicara
Wilayah berbicara biasanya dibagi menjadi dua bidang, yaitu; berbicara terapan atau fungsional (the speech art) dan pengetahuan dasar berbicara (the speech science). Dengan kata lain, berbicara dapat ditinjau sebagai seni dan sebagai ilmu. Berbicara sebagai seni menekankan penerapannya sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, dan yang menjadi perhatiannya antara lain; berbicara di muka umum, diskusi kelompok, debat, dan lainnya. Sedangkan berbicara sebagai ilmu menelaah hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme berbicara, latihan dasar tentang ujaran dan suara, bunyi-bunyi bahasa, dan patologi ujaran.
Pengetahuan tentang ilmu atau teori berbicara sangat menunjang kemahiran serta keberhasilan seni dan praktik berbicara. Untuk itulah diperlukan pendidikan berbicara (speech education). Konsep-konsep dasar pendidikan berbicara mencakup tiga kategori, yaitu:
1. Hal-hal yang berkenaan dengan hakikat atau sifat-sifat dasar ujaran
2. Hal-hal yang berhubungan dengan proses intelektual yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berbicara
3. Hal-hal yang memudahkan seseorang untuk mencapai keterampilan berbicara
Penekanan berbicara sebagai seni atau berbicara fungsional berarti membahas berbagai model praktik berbicara. Dalam hal ini, berbicara secara garis besar dapat dibagi atas:
1)      Berbicara di muka umum atau public speaking (mencakup berbicara yang bersifat pemberitahuan, kekeluargaan, bujukan, dan perundingan)
2)      Berbicara pada kenferensi atau confrence speaking (meliputi diskusi kelompok, prosedur parlementer, dan debat)
Selain itu, berbicara dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek, antara lain; arah pembicaraan, tujuan pembicaraan, dan suasana. Pengelompokkan berdasarkan arah pembicaraan dihasilkan berbicara satu arah (pidato, ceramah, dsb) dan berbicara dua arah (konversasi, diskusi, dsb). Berdasarkan aspek tujuan, berbicara dapat dikelonmpokkan ke dalam berbicara persuasi, argumentasi, agitasi, instruksional, rekreatif. Sementara itu, berdasarkan suasana dan sifatnya, berbicara dapat dikelompokkan ke dalam berbicara formal dan informal.

G. Teknik Berbicara
Berbicara di depan umum memerlukan teknik-teknik tertentu. Penguasaan teknik yang digunakan untuk menyajikan pikiran dan gagasan secara oral merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pembicara. Jika ingin pembicaraan berhasil ada beberapa syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
  1. Memiliki keberanian dan tekad yang kuat.
Keberanian merupakan hal yang sangat mendasar. Tanpa keberanian atau keberanian yang setengah-setengah akan mengakibatkan kacaunya pembicaraan. Tekad yang kuat akan menghilangkan keragu-raguan dan menambah kepercayaan terhadap diri sendiri. Dengan kedual hal ini akan membuat gerak-gerik kita tidak akan kaku dan canggung (ada ketenangan sikap).
  1. Memiliki pengetahuan yang luas.
Sang pembicara (guru) harus menguasai materi yang akan dibicarakan sehingga dapat menyampaikan gagasan-gagasan secara lancer dan teratur. Disamping itu, pembicara dituntut bertanggung jawab terhadap materi yang akan disampaikan. Untuk itu pmbicara harus banyak membaca.
  1. Memahami proses komunikasi massa.
Untuk dapat memahami proses komunikasi massa, pembicara dapat mengawali dengan analisis pendengar dan situasi akan membuat pembicara akan sanggup beraksi dengan cepat dan tanggap.
  1. Menguasai bahasa yang baik dan lancar.
Jika pembicara menguasai bahsa dengan baik dan lancer, otomatis akan mempunyai perbendaharaan kosakata yang memadai. Dengan kosakata yang memadai, pembicara akan mampu berimprovisasi dengan baik pula. Penguasaan bahasa sebut termasuk lafal, singkatan, istilah, dan sebgainya.
  1. Pelatihan yang memadai.
Pelatiah merupakan syarat mutlak dalam berbicara didepan umum, khususnya untuk para pemula. Pelatiahan yang memadai akan semakin meninggikan nilai pembicaraan karena secara umum dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang terencana menghasilkan kualitas yang lebih baik.

Beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam berbicara, yaitu:
·                                           Menentukan maksud pembicaraan.
·                                           Menganalisis pendengar dan situasi.
·                                           Memilih dan menyempitkan topik.
·                                           Mengumpulkan bahan.
·                                           Membuat kerangka uraian.
·                                           Menguraikan secara mendetail.
·                                           Berlatih dengan suara nyaring.
H.  Hubungan Berbicara dengan Keterampilan Bahasa yang lain
Berbicara sebagai keterampilan berbahasa berhubungan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Kemampuan berbicara berkembang pada kehidupan anak apabila didahului oleh keterampilan menyimak. Keterampilan berbicara memanfaatkan kosakata yang pada umumnya diperoleh anak melalui kegiatan menyimak dan membaca. Materi pembicaraan banyak yang diangkat dari hasil menyimak dan membaca. Demikian pula sering terjadi keterampilan berbicara dibantu dengan keterampilan menulis, baik dalam bentuk pembuatan out line maupun naskah.
Secara garis besar hubungan itu dapat dikemukakan berikut ini:
a. Berbicara dan menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat langsung
b. Berbicara dipelajari melalui keterampilan menyimak
c. Peningkatan keterampilan menyimak akan meningkatkan keterampilan berbicara
d. Bunyi dan suara merupakan faktor penting dalam keterampilan berbicara dan menyimak
e. Berbicara diperoleh sebelum pemerolehan keterampilan membaca
f. Pembelajaran keterampilan membaca pada tingkat lanjut akan membantu keterampilan berbicara
g. Keterampilan berbicara diperoleh sebelum pembelajaran keterampilan menulis
h. Berbicara cenderung kurang terstruktur dibandingkan dengan menulis
i. Pembuatan catatan, bagan, dan sejenisnya dapat membantu keterampilan berbicara
j. Performansi menulis dan berbicara berbeda, meskipun keduanya sama-sama bersifat produktif.
Secara rinci hubungan berbicara dengan keterampilan bahasa lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Hubungan berbicara dengan menyimak
Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang langsung, merupakan komunikasi tatap muka atau face to face communication (Brooks, 1964 : 134).
Hal-hal yang dapat memperlihatkan eratnya hubungan berbicara dengan menyimak adalah sebagai berikut :
a. Ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru. Oleh karena itu maka contoh atau model yang disimak oleh anak sangat penting dalam penguasaan kecakapan berbicara.
b. Kata-kata yang dipakai serta dipelajari oleh anak biasanya ditentukan oleh rangsangan yang mereka temui dan kata-kata yang paling banyak memberikan bantuan atau pelayanan dalam menyampaikan idea tau gagasan mereka.
c. Ujaran yang dipakai anak biasanya mencerminkan pemakaian bahasa di ruamah dan dalam masyarakat tempatnya hidup.
d. Anak yang lebih muda lebih dapat memahami kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya.
e. Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara seseorang.
f. Bunyi atau suara merupakan suatu faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata sang anak. Oleh karena itu sang anak akan tertolong kalau mereka menyimak ujaran-ujaran yang baik dari pada guru, rekaman-rekaman yang bermutu, cerita-cerita yang bernilai tinggi, dan lain-lain.
g. Berbicara dengan bantuan alat-alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak menyimak. Umumnya sang anak mempergunakan/ meniru bahasa yang didengarnya. (Tarigan, 1980a,b : 1-2 ; Dawson [et al], 1963 : 29).
  1. Hubungan antara Berbicara dengan Membaca
Kemampuan-kemampuan umum berbahasa lisan turut memperlengkapi suatu latar belakang pengalaman-pengalaman yang menguntungkan serta ketrampilan-ketrampilan bagi pengajaran membaca.
Hubungan-hubungan antara bidang kegiatan lisan dan membaca telah dapat diketahui dari beberapa telaah penelitian, antara lain :
a. Performansi atau penampilan membaca berbada sekali dengan kecakapan berbahasa lisan.
b.  Pola-pola ujaran orang yang tuna-aksara mungkin mengganggu pelajaran membaca bagi anak-anak.
c. Kalau, pada tahun-tahun awal sekolah, ujaran membentuk suatu dasar bagi pelajaran membaca, maka membaca bagi anak-anak kelas yang lebih tinggi turut membantu meningkatkan bahasa lisan mereka, misalnya : kesadaran linguistik mereka terhadap istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif, serta penggunaan kata-kata yang tepat.
d. Kosa kata khusus mengenai bahan bacaan haruslah diajarkan secara langsung. Seandainya muncul kata-kata baru dalam buku bacaan siswa, maka sang guru hendaknya mendiskusikan dengan siswa agar mereka memahami maknanya sebelum mereka mulai membacanya. (Tarigan, 1980a : 4 : Tarigan, 1980b : 6 – 7; Dawson  [et al], 1963 : 30).
  1. Hubungan antara berbicara dengan menulis
Adalah wajar bila komunikasi lisan dan komunikasi tulis erat sekali berhubungan karena keduanya mempunyai banyak persamaan, antara lain:
a. Sang anak belajar berbicara jauh sebelum dia dapat menulis; dan kosa kata, pola-pola kalimat, serta organisasi ide-ide yang memberi cirri kepada ujarannya merupakan dasar bagi ekspresi tulis berikutnya.
b. Sang anak yang telah dapat menulis dengan lancar biasanya dapat pula menuliskan pengalaman-pengalaman pertamanya serta tepat tanpa diskusi lisan pendahuluan tetapi dia masih membicarakan ide-ide yang rumit yang diperolehnya dari tangan kedua. Bila seorang anak harus menulis suatu uraian, menjelaskan suatu proses ataupun melaporkan suatu kejadian sejarah (yang secara pribadi belum pernah dialaminya), maka dia memetik pelajaran dari suatu diskusi kelompok pendahuluan. Dengan demikian maka dia dapat mempercerah pikirannya, mengisi kekosongan-kekosongan, memperbaiki impresi atau kesan-kesan yang salah, serta mengatur ide-idenya sebelum dia mulai menulis sesuatu.
c. Perbedaan-perbedaan terdapat pula antara komunikasi lisan dan komunikasi tulis. Ekspresi lisan cenderung kearah kurang berstruktur, lebih sering berubah-ubah, tidak tetap, dan biasanya lebih kacau serta membingungkan timbang komunikasi tulis. Kebanyakan pidato atau pembicaraan bersifat informal, dan seringkali kalimat-kalimat orang yang berpidato atau berbicara itu tidak ada hubungannya serta sama lain. Si pembicara memikirkan ide-idenya sambil berbicara, dan kerapkali dia lupa bagaimana terjadinya suatu kalimat lama sebelum dia menyelesaikannya. Karena adanya masalah-masalah seperti ini pada ekspresi lisan, maka pengajaran mengenai keterampilan berbicara dan menyimak perlu mendapat perhatian. Pengalaman telah menunjukkan bahwa meningkatkan ekspresi lisan para individu berarti turut pula meningkatkan daya pikir mereka. Membasmi kebiasaan-kebiasaan yang ceroboh ketidakteraturan dalam ujaran, kalmat-kalimat yang tidak menentu ujung pangkalnya serta berulang-ulang, pikiran-pikiran yang tidak sempurna dan tidak konsekuen dalam eskpresi lisan memang sangat perlu dan dan selalu harus dilakukan agar kita dapat membimbing para individu kearah kebiasaan berpikir yang tepat dan logis. Sebaliknya komunikasi tulis cenderung lebih unggul dalam isi pikiran maupun struktur kalimat, lebih formal dalam gaya bahasa dan jauh lebih teratur dalam pengertian ide-ide. Sang penulis biasanya telah memikiri dalam-dalam setiap kalimat sebelum dia menulis naskahnya; dia sering memeriksa serta meperbaiki kalimat-kalimatnya beberapa kali sebelum dia menyelesaikan tulisannya.
d. Pembuat catatan serta pembuat bagan atau rangka ide-ide yang akan disampaikan pada suatu pembicaraan akan menolong siswa untuk mengutarakan ide-ide tersebut kepada para pendengar. Para siswa harus belajar berbicara dari catatan-catatannya, dan mereka membutuhkan banyak latihan berbicara dari catatan agar penyajiannya jangan terputus-putus dan tertegun-tegun. Biasanya bagan atau rangka yang dipakai sebagai pedoman dalam berbicara sudah cukup memadai, kecuali dalam kasus laporan formal dan terperinci yang memerlukan penulisan naskah yang lengkap sebelumnya.
I.     Pengajaran Berbicara
Berbicara sebagai salah satu unsur kemampuan berbahasa sering dianggap sebagai suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dari kegiatan pengajaran berbicara yang selama ini dilakukan. Dalam peraktiknya, pengajaran berbicara dilakukan dengan menyuruh murid berdiri di depan kelas untuk berbicara, misalnya bercerita atau berpidato. Siswa yang lain diminta mendengarkan dan tidak mengganggu. Akibatnya, pengajaran berbicara di sekolah – sekolah itu kurang menarik. Siswa yang mendapat giliran merasa teretekan sebab di samping siswa itu harus mempersiapkan bahan sering kali guru melontarkan kritik yang berlebihan – lebihan. Sementara itu, siswa yang lain merasa kurang terikat pada kegiatan itu kecuali ketika mereka mendapatkan giliran.
Agar seluruh anggota kelas dapat terlibat dalam kegiatan pengajaran berbicara, hendaklah selalu diingat hakikatnya berbicara itu berhubungan dengan kegiatan berbicara yang lain, seperti menyimak, membaca, dan menulis, serta berkaitandengan pokok – pokok pembicaraan. Dengan demikian, sebaiknya pengajaran berbicara mempunyai aspek komunikasi dua arah dan fungsional. Pendengar selain berkewajiban menyimak ia berhak untuk memberikan umpan balik. Sementara itu, pokok persoalan yang menjadi bahan pembicaraan harus dipilih hal – hal yang benar – benar diperlukan oleh partisipan. Tugas pengajar adalah mengembangkan pengajaran berbicara agar aktivitas kelas dinamis, hidup, dan diminati oleh anak sehingga benar – benar dapat dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan untuk mempersiapkan diri terjun ke masyarakat. Untuk mencapai hal itu, dalam pengajaran berbicara harus diperhatikan beberapa faktor, misalnya pembicara, pendengar, dan pokok pembicaraan.
Pembicara yang baik memberikan kesan kepada pendengar bahwa orang itu menguasai masalah, memiliki keberanian dan kegairahan. Penguasaan masalah akan terlihat pada kedalaman isi dan keruntutan penyajian. Sementara itu, keberanian dan kegairahan akan terlihat pada penampilan, kualitas suara, dan humor yang ditampilkan. Pembicara yang baik perlu didukung oleh pendengar yang baik, yaitu pendengar yang memiliki sifat kritis, responsif. Pendengar yang demikian itu pada umumnya bersedia memahami dan menanggapi pokok pembicaraan secara kritis. Dengan demikian, akan terjadi interaksi timbal balik antara pembicara dengan pendengar sehingga tercipta pembicaraan yang hidup.
Topik pembicaraan juda sangat menentukan berhasil tidaknya suatu kegiatan berbicara. Topik pembicaraan dinilai baik apabila menarik bagi pembicara dan pendengar, misalnya aktual dan relevan dengan kepentingan partisipan. Agar topik pembicaraan itu mudah dipahami perlu disusun secara sistematis, misalnya dengan urutan waktu, tempat dan sebab – akibat.
Kegiatan berbicara acap kali ditopang dengan persiapan tertulis, baik berupa referensi yang harus dibaca maupun konsep yang akan disampaikan. Pokok pembicaraan itu ada baiknya dipersiapkan dalam bentuk tertulis, misalnya berupa naskah lengkap atau out line. Para penyimak ada kalanya juga memerlukan kegiatan tulis – menulis, terutama untuk membuat catatan atau ringkasan dari apa yang didengarnya. Dengan demikian, keterpaduan keempat keterampilan berbahasa dalam pengajaran berbicara harus diwujudkan secara alami seperti halnya yang terjadi di tengah masyarakat.
              Disamping itu, pengajaran berbicara perlu memperhatikan dua faktor yang mendukung ke arah tercapainya pembicaraan yang efektif, yaitu faktor kebahasan dan non kebahasan. Faktor kebahasan yang perlu diperhatikan ialah (1) pelafan bunyi bahas, (2) penggunaan inotasi, (3) pemilihan kata dan ungkapan, (4) penyusunan kalimat dan paragraf. Sementara itu, faktor non kebahasaan yang mendukung keefektifan berbicara ialah (1) ketenangan dan kegairahan, (2) keterbukaan, (3) keintiman, (4) isyarat nonverbal, dan (5) topik pembicaraan.
A.  Bercerita, Berdialog, Berpidato/Berceramah, Berdiskusi
Berikut ini kegiatan berbicara yang dapat dilakukan siswa adalah (1) bercerita, (2) berdialog, (3) berpidato, dan (4) berdiskusi.
1.         Bercerita
Sejak zaman dahulu leluhur kita mempunyai kebiasaan  bercerita secara lisan. Tukang cerita dan pelipur lara mendapat tempat terhormat di hati masyarakat. Budaya baca tulis yang masuk ke Indonesia bersama-sama dengan masuknya peradaban modern telah menggeser kedudukannya. Meskipun demikian, orang yang mahir bercerita tetap diperlukan. Guru atau orang tua yang mahir bercerita akan disenangi oleh anak-anaknya. Melalui cerita dapat pula menjalin hubungan yang akrab.
Disamping itu, ada tiga manfaat yang dapat dipetik dari bercerita, yaitu (1) memberikan hiburan, (2) mengajarkan kebenaran, (3) memberikan keteladanan atau model. Cerita adalah sejenis hiburan yang murah, yang kehadirannya amat diperlukan sebagai bumbu dalam pergaulan. Pertemuan akan terasa kering dan gersangtanpa kehadiran cerita kisah-kisah lama pada umumnya memiliki tema hitam putih, artinya kebenaran dan keluhuran budi yang di pertentangkan dengan kebatilan akan selalu dimenangkan. Disitulah pencerita mengajarkan nilai luhur yang bersifat universal, sekaligus menghadirkan tokoh protagonis sebagai model keteladanan.
Untuk menjadi pencerita yang baik dibutuhkan persiapan dan latihan. Persyaratan yang perlu diperhatikan, antara lain (1) penguasaan dan penghayatan cerita, (2) penyelarasan dengan situasi dan kondisi, (3) pemilihan dan penyusunan kalimat, (4) pengekspresian yang alami, (5) keberanian.
Nadeak (1987)mengemukakan beberapa petunjuk yang berkaitan dengan aspek lisan dan tulisan. Petunjuk tersebut mencakup 18 hal, yaitu :
1)        Memilih cerita yang tepat
2)        Mengetahui cerita
3)        Merasakan cerita
4)        Menguasai kerangka cerita
5)        Menyelaraskan cerita, gaya diperlukan
6)        Pemilihan pokok cerita yang tepat dan kena
7)        Menyelaraskan cerita dan menyarikan
8)        Menyelaraskan dan memperluas
9)        Menyederhanakan cerita
10)    Mengisahkan cerita secara langsung
11)    Bercerita dengan tubuh yang alamiah
12)    Menentukan tujuan
13)    Mengenali tujuan dan klimaks
14)    Memfungsikan kata dan percakapan dalam cerita
15)    Melukiskan kejadian
16)    Menetapkan sudut pandang
17)    Menciptakan suasana dan gerak
18)    Merangkai adegan

2.         Berdialog
Dialog secara umum diartikan kegiatan berbicara dua arah, maksudnya para partisan saling berbicara, bertanya jawab, menanggapi mitra bicara. Ada berbagai bentuk bicara yang termasuk dialog yaitu tegur sapa, konversasi, wawancara, diskusi, dan bertelepon. Dialog dalam pengertian khusus adalah percakapan yang terjadi antar pelaku dalam suatu drama. Tarigan, (1987:77) berpendapat bahwa dalam setiap lakon dialog harus memenuhi dua macam persyaratan, yaitu :
1.    Dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak.
2.    Dialog haryslah baik dan bernilai tinggi.
  Persyaratan pertama mengandung maksud agar dialog yang digunakan mencerminkan apa-apa yang telah terjadi selama permainan, selama pementasan, dan juga mencerminkan pikiran atau gagasan para tokoh yang ikut berperan dalam lakon itu. sementara persyaratan kedua, dialog yang baik dan bernilai tinggi berarti dialog harus terarah dan lebih teratur daripada percakapan sehari-hari. Jangan hendaknya ada kata-kata yang tidak perlu, para tokoh berbicara dengan jelas, terang dan menuju sasaran.
       Dalam materi ini dialog diartikan dengan sangat sederhana, yaitu percakapan yang terjadi antara dua orang atau lebih. Dialog seperti ini terjadi kapan dan dimana saja. Topik pembicaraannya sangat bervariasi, dari hal-hal yang ringan sampai pada persoalan yang berat.
       Dialog atau percakapan ini akan berjalan baik, lancer dan mengasikan manakala partisipan saling memperhatikan. Sikap give and lake, serta saling pengertian perlu dikembangkan. Pokok pembicaraan berkisar pada persoalan yang relevan dengan kepentingan bersama. Ucapan yang menyinggung perasaan serta prilaku menonjolkan diri harus menghindari. Santun dialog perlu dipelihara, dengan menghindari sikap mendikte, ekspresi kekesalan atau kejengkelan, dan sikap merendahkan diri yang berlebih-lebihan.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah :
1.        Bagaimana seseorang menarik perhatian.
2.        Bagaimana cara mulai dan memprakarsai suatu percakapan.
3.        Bagaimana cara menginterupsi, menyela, memotong pembicaraan, mengoreksi, memperbaiki kesalahan dan mencari kejelasan.
4.        Bagaimana mengakhiri suatu percakapan.
       Analisis terhadap praktek dialog yang sesungguhnya akan meningkatkan kesadaran secara sungguh-sungguh.
              Bahasa dalam dialog biasanya pendek-pendek, dan kurang berstruktur. Meskipun demikian, pembicaraan dapat dipahami sebab disertai mimic dan pamtomimik yang mendukung. Ekspresi wajah, gerakan tangan, anggukan kepala, dan sejenisnya yang termasuk paralinguistic amat penting dala percakapan.
              Dalam pengajaran bahasa disekolah, terutama disekolah dasar, dialog perlu diberikan agar mereka dapat bergaul ditengah masyarakat. Dalam buku pelajaran dikemukakan bebrapa contoh percakapan agar dapat dipraktikan secara berpasangan.
3. Berpidato/Berceramah
       Pidato adalah penyampaian uraian secara lisan tentang suatu hal di hadapan massa. Penyampaian uraian berarti mengutarakan keterangnan sejelas-jelasnya menurut cara-cara tertentu. Penyampaian suatu hal belum disertai penjelasan, misalnya penyampaian perintah atau pengumuman belum dapat dikatakan pidato. Penyampaian secara lisan mendapat tekanan dalam pengertian untuk membedakan dengan uraian secara tertulis, baik dalam bentuk artikel maupun buku. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahan pidato diangkat dari suatu artikel atau buku. Pengertian massa adalah sekelompok orang yang pada waktu tertentu bersamaan tekad dan tujuan serta memiliki persamaan perasaan. Massa berbeda dengan sekelompok orang yang berada di suatu tempat tanpa ikatan tujuan dan emosional.
       Pidato dapat dijumpai dalam berbagai pertemuan, misalnya pernikahan, ulang tahun, kematian, peringatan hari besar. Jenis dan sifat pidato yang disampaikan dapat berupa pidato informatif, persuasif, rekreatif, dan argumentatif.
       Pidato/ceramah memiliki peran yang sangat penting. Mereka yang mahir berpidato dapat menggunaknnya untuk memaparkan gagasannya sehingga gagasan itu diterima oleh orang banyak. Pidato dapat juga digunakan untuk menguasai massa danmenggerakkannya untuk tujan-tujuan tertentu. Hitler, misalnya, menggunakan kemahiran berpidato untuk menyeret bangsanya ke arah api peperangan. Di Indonesia dikenal nama Bung Tomo yang dengan kemampuannya berpidato sanggup menggerakkan massa untuk melawan penjajah.
       Kemampuan pidato sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama bagi seorang pemimpin, tokoh masyarakat, dan para ahli. Buah pikiran, penemuan-penemuan, dan informasi akan mudah diterima apabila disampaikan melalui pidato yang baik. Kemahiran berpidato bukan saja menuntut penugasan yang baik, melainkan juga menghendaki persyaratan lain, seperti :
1.         Keberanian
2.         Ketengangan menghadapi massa
3.         Kecepatan bereaksi, dan
4.         Kesanggupan menyampaikan ide secara lancar dan sistematis.
Keraf (1980:317) mengemukakan tujuh langkah dalam mempersiapkan penyajian lisan, yaitu:
1.         Menentukan maksud
2.         Menganalisis pendengar dan situasi
3.         Memilih dan menyempitkan topik
4.         Mengumpulkan bahan
5.         Membuat kerangka uraian
6.         Menguraikan secara mendetail, dan
7.         Melatih dengan suara nyaring
Dalam hubungannya dengan pembuatan kerangka dan pengembangan topik dapat digunakan beberapa model, misalnya.
1.         Urutan topik
2.         Aturan waktu
3.         Urutan tempat
4.         Urutan aspek, dan
5.         Sebab akibat
Sementara itu, secara umumu sikap dan tata krama yang perlu mendapatkan perhatian ialah : 1. Berpakaian yang bersih, rapi, sopan, dan tidak pamer, 2. Rendah hati tetapi bukan rendah diri atau kurang percaya diri, 3. Menggunakan kata-kata yang sopan, sapaan yang menatap dan bersahabat. 4. Menyelipkan humor yang segar, sopan 5. Mengemukakan permohonan maaf pada akhir pidato.
4.   Berdiskusi
       Diskusi atau bertukar pikiran merupakan salah satu berbicara dalam kelompok yang banyak digunakan dalam masyarakat. Penerapannya dapat ditemukan dalam berbagai kegiatan, misalnya rembug desa, musyawarah, rapat, belajar kelompok, diskusi kelompok, diskusi panel, seminar, lokakarya, dan simposium.
       Nio (1981:4) mengatakan diskusi ialah proses penglibatan dua atau lebih individu yang berinteraksi secara verbal dan tatap muka, mengenai tujuan yang sudah tentu melalui tukar-menukar informasi untuk memecahkan masalah. Sementara itu, Brilhart (1973:2) mengemukakan bahwa diskusi adalah pembicaraan antara dua orang atau beberapa orang dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan atau keputusan bersama mengenai suatu masalah. Dari kedua batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa esensi diskusi adalah (1) partisipasi lebih dari satu orang, (2) dilaksanakan dengan bersemuka, (3) menggunakan bahasa lisan, (4) tujuannya untuk mendapatkan kesepakatan bersama, (5) dilakukan melalui tukar-menukar informasi dan tanya jawab.
       Dipodjojo (1982:64) berpendapat bahwa diskusi perlu dijalin pengertian tentang (1) sikap koperatif di antara para anggota, (2) semangat berinteraksi, (3) kesadaran berkelompok, (4) bahasa merupakan alat pokok komunikasi, dan (5) kemampuan daya memahami persoalan. Berkenaan dengan hal itu maka sikap yang dikembangkan oleh setiap peserta diskusi adalah an open mind, an open heart, dan an open mounth.
       Suatu diskusi akan berjalan baik apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
A.       Pimpinan dan peserta diskusi memahami peranannya masing-masing.
B.       Suasana demokratis (terbuka)
C.       Peseta berpartisipasi penuh
D.       Selalu dikembangkan bimbingan dan kontrol
E.        Mengutamakan kontra argumen buka kontraemosi
F.        Menggunakan bahasa yang singkat, jelas, dan tepat
G.       Terhindar dari klik yang monopoli pembicaraan
H.       Dihasilkan suatu kesimpulan
Dalam proses tukar-menukar pikiran perlu diperhatikan tata tertib dan santun diskusi, terutama yang berkaitan dengan cara mengemukakan pendapat, menanggapi atau menanyakan sesuatu, menyampaikan jawaban atau tanggapan balik. Untuk dapat memahami pendapat orang lain, peserta diskusi sebaiknya (1) mendengarkan uraian dengan penuh perhatian, (2) menghilangkan sikap emosional dan purbasangka, (3) menngkap gagasan utama dan gagasan penjeasan serta mempertimbangkannya.
Dalam mengajukan pertanyaan atau sanggahan hendaklah dilakukan secara santun, misalnya (1) pertanyaan dan sanggahan diajukan harus jelas dan tidak berbelit-belit, (2) pertanyaan dan sanggahan diajukan dengan santun, menghindari pertanyaan, permintaan, dan perintah langsung, (3) diusahakan agar pertanyaan dan senggahan tidak ditafsirkan sebagai bantahan atau debat. Sementara itu, dalam menjawab pertanyaan atau memberikan tanggapan balik, sebaiknya memperhatikan empat hal, yaitu (1) jawaban dan tanggapan sehubungan dengan pertanyaan dan tanggapan itu saja, (2) jawaban harus objektif dan diusahakan dapat memuaskan berbagai pihak, (3) prasangka dan emosi harus dihindarkan, (4) bersikap jujur dan terus terang apabila tidak bisa menjawab.
Dalam menyampaikan persetujuan maupun penolakan terhadap suatu pendapat seharusnya dilandasi alasan yang masuk akal. Persetujuan akan lebih berharga apabila diikuti dengan argumen dari sisi yang lain, sebliknya sanggahan perlu disertai sebagai sindiran atau cemoohan dan dapat menyinggung perasaan harus dihindarkan.
Kesimpulan diskusi hendaklah didasarkan pada objekticitas dan kemaslahatan bersama. Pengambilan keputusan dilakukan pada saat tepat, artinya apabila sudah banyak persamaan pendapat moderator segera mengambil kesimpulan. Keterlambatan dalam menyimpulkan pendapat dapat mengakibatkan diskusi menjadi berlarut-larut.
J.    Pembicara Ideal
Seorang pembicara yang baik pada umumnya akan menghasilkan suatu pembicaraan yang efektif. Tarigan (1990:218) mengemukakan ciri-ciri pembaca yang baik antara lain:
1.      Pandai menemukan topik yang tepat dan up to date (terkini);
Memilih topik yang tepat. Pembicara yang baik selalu dapat memilih materi atau topik pembicaraan yang menarik, aktual dan bermanfaat bagi para pendengarnya, juga selalu mempertimbangkan minat, kemampuan, dan kebutuhan pendengarnya.
2.      Menguasai materi;
Pembicara yang baik selalu berusaha mempelajari, memahami, menghayati, dan menguasai materi yang akan disampaikannya.
3.      Memahami pendengar;
Sebelum pembicaraan berlangsung, pembicara yang baik berusaha mengumpulkan informasi tentang pendengarnya. Misalnya: jumlahnya, jenis kelamin, pekerjaannya, tingkat pendidikannya, minatnya, nilai yang dianut, serta kebiasaannya. Bahkan perasaan pendengar kepada topik yang akan disampaikannya sudah diramalkan apakah simpati, antipasti, atau acuh tak acuh.
4.      Memahami situasi;
Mengidentifikasi mengenai ruangan, waktu, peralatan penunjang berbicara, dan suasana.
5.     Merumuskan tujuan dengan jelas;
Pembicara yang baik dapat merumuskan tujuan pembicaranya yang tegas, jelas, dan gamblang.pembicara yang baik dapat merumuskan dengan pasti respon apa yang diharapkannya dari pendengarnya pada akhir pembicaraan . kearah respon yang diharapkan itulah pendengar digiringnya.
6.      Memiliki kemampuan linguistik yang memadai;
Pembicara dapat memilih dan menggunakan kata, ungkapan, dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan jalan pikirannya, dapat menyajikan materi dalam bahasa yang efektif, sederhana, dan mudah dipahami.
7.      Menjalin kontak dengan pendengar;
Pembicara berusaha memahami reaksi emosi, dan perasaan mereka, berusaha mengadakan kontak batin dengan pendengarnya, melalui pandangan mata, perhatian, anggukan, atau senyuman.
8.      Menguasai pendengar;
Pembicara yang baik harus pandai menarik perhatian pendengarnya, dapat mengarahkan dan menggerakkan pendengarnya ke arah pembicaraannya.
9.      Memanfaatkan alat bantu;
Untuk lebih memudahkan pendengar memahami penjelasannya, dia memanfaatkan alat-alat bantu seperti skema, diagram, statistik, gambar-gambar, dan sebagainya.
10.  Berpenampilan meyakinkan;
Pembicara dapat berpakaian rapi dan sopan agar lebih menarik. Dengan begitu pendengar akan dapat yakin pada apa yang disampaikan oleh pembicara.
11.  Mempunyai rencana.

Pembicara yang baik selalu berencana meyakini kebenaran isi uangkapan; sesuatu yang direncanakan hasilnya lebih baik dari yang tidak direncanakan. Pembicara juga sudah membayang-bayangkan bila ada perubahan situasi harus berubah pelaksana dan bagaimana cara mengatasinya. 

Comments