Mendarah Daging; Tua, Paling Benar? Muda, Egois?

Salam!



Setelah sekian lama vakum, akhirnya gue memutuskan untuk corat-coret di blog tercinta tapi pernah dilupakan karena ada seseorang yang membuat tangan gue gatel buat mengutarakan isi hati unek-unek. Cerita kali ini sebenarnya pengalaman pribadi setelah gue lulus kuliah dan entah kenapa jadi vakum nge-blog, vakum segala hal yang berkaitan dengan cerita di blog gue sebelumnya. Oh dud… bukan berarti gue mau tulis cerita yang benar-benar pribadi ya… hehehe…

Well, gue mau flashback dulu ya… pasti hampir semua orang setelah lulus kuliah akan mencari pekerjaan dan Alhamdulillah di tahun 2014 saat gue lulus kuliah langsung dapat pekerjaan yaitu menjadi seorang guru sd di salah satu sd negeri Jakarta Selatan. Awal mula melamar pekerjaan itu deg-degan pasti ya… singkat cerita, gue resmi menjadi guru di sana sejak tahun 2014 sampai tahun 2015 saja. Loh ko sebentar? Iya… karena pindah tugas ke sd negeri di Jakarta Utara. 

Tahun pertama menjadi seorang guru itu bagi gue sedikit konyol/awkward/noob atau apapun istilahnya ya hehehe… so, yang gue hadapin itu adalah manusia bukan benda mati dan artinya gue berhadapan dengan orang-orang yang sifatnya berbeda. Selain itu, gue juga punya rekan sejawat yang usianya di atas gue semua… bingung gak tuh how to talk each other? Belum lagi gue yang emang pendiam kalau sama orang yang baru dikenal… hehehe…

Selama satu tahun di sini, gue tahu kalua di dunia kerja itu dapat “teman” itu agak gimana gitu… makanya gue anggap sebagai rekan sejawat aja. Kenapa? Oke… sebelum tahu alasannya gue perlu tekankan bahwa memang tidak semua seperti ini ya… Jadi, kalau di tempat ini ada yang berlomba-lomba untuk saling menjatuhkan satu sama lain, ada yang jadi penjilat, bahkan pemimpinnya pun seperti tidak punya rasa kemanusiaan ibarat kata lidah lebih tajam daripada pisau, dan hal apapun yang bisa gue liat sebagai sifat manusia secara alamiah.

Tahun pertama dapat pengalaman buruk? Pastilah… gue juga baru belajar… ga tau ini itu… dipanggil ke ruang pimpinan juga sering dengan laporan dari si A kalau begini begitu misalnya tapi masih dengan perkataan yang manusiawi jadi gue juga maklumin dan memang perlu belajar banget. Tapi ada juga kesenjangan “perbedaan status” dalam arti kata saat ada si A minta tolong sama si O itu ga dikerja-kerjain, tapi kalau ada si B minta tolong sama si O selalu diutamakan karena adanya “perbedaan status” dan adanya parfum yang bisa mengharumkan wallet. Selain itu juga banyak sekali cepu-cepu dengan kata-kata yang biasa buat sakit hati termasuk si pimpinan. Satu hal yang gue suka di sini itu hanya yang tua dan yang muda semua kompak kerja sama. Gak ada yang mentang-mentang tua lalu gak mau ini itu dan memang sih yang muda sedikit lebih banyak tapi intinya tetap seimbang (gak melulu apa-apa yang muda aja). Bahkan yang sudah mendekati pensiun pun mau belajar laptop dari awal. Semangat yang tua ga tertelan waktu dan hal ini yang membuat tempat ini berhasil menciptakan/menghasilkan sesuatu karena dalam kekompakkannya (mengesampingkan yang cepu-cepu/lidah lebih tajam pisau). Pikiran gue pun terbuka dan “o… ternyata benar seperti ini ya dunia kerja”.

Kita hampir masuk ke point inti yang membuat gue niat banget buat tulis ini. Tahun 2015 sampai tulisan ini terbit gue jadi guru di salah satu sd negeri Jakarta utara, tempat di mana isinya kalau gak guru gue dulu… ya anak dari guru gue dulu hehehe… kali pertama gue masuk sini awalnya udah gue rahasiain kalau gue dulu sekolah di wilayah ini juga dan anak dari B yang mereka (senior-senior) pasti kenal, tapi akhirnya terbongkar juga. Gue sebagian sudah mendengar karakteristik rekan sejawat gue di tempat ini dan gue cuma tinggal buktiin aja. 

Sejujurnya gue kaget masuk di tempat ini ternyata berbeda 180 derajat dari tempat gue dulu, beda kebiasaan kegiatan siswa di sini maupun rekan sejawat. Tempat baru dan ini berarti gue harus menyesuaikan diri lagi. Gue ulangi deh ya… gue itu orangnya pendiam sama orang yang baru kenal dan terlebih lagi gue akan lebih lama tugas di sini jadi gue harus membuktikan/menilai/mengetahui karakter setiap rekan sejawat. Gue butuh waktu maksimal 2 semester/ 1 tahun untuk mengetahui semuanya. 

Gue muda, baru/fresh dari kulkas yang harus bisa ini itu jangan mau kalah sama yang tua, begitu kata pimpinan saat itu setelah beberapa bulan. Entah kenapa dapatlah tugas tambahan yang ditunjuk sama pimpinan kalau gue disuruh jadi pengurus barang tanpa meminta persetujuan gue terlebih dahulu dan gue pun harus meng-iya-kan karena gue juga masih baru dan manut aja deh. Untungnya saat itu gue dibantu sama O buat mengerjakannya. Masalahnya adalah yakali gue gak tahu apa-apa terus kalau ditanya ini mana barangnya itu mana barangnya gue gak tahu apa-apa… liat aja enggak barangnya… tapi selama ada si O gue ga terlalu khawatir karena dibantuin dan ini gak jadi masalah buat gue.

Semakin kesini, dugaan awal gue terbukti kalau rekan sejawat dan pimpinan di sini mempunyai pola pikir seperti yang muda berkarya, yang muda berprestasi, yang muda aktif, yang muda ikut rapat sana-sini, yang muda harus mau jadi ini itu, yang muda blablabla… dalam hati gue,”terus kalau ada apa-apa semua harus yang muda, terus yang tua ngapain? Buat apa ada yang tua? Kenapa ga disuruh pensiun dini aja yang tua-tua kalau ada apa-apa cuma yang muda aja yang harus melakukan?” mereka berdalih dulu saya juga begitu kesana kemari begini begitu cuma sekarang sudah tua, tenaganya udah kurang, ga bisa laptop, dll. Okelah… gue maklumin… dari sini jelas dong kenapa gue bilang beda 180 derajat sama tempat gue dulu?

Ganti pimpinan… dapat pula tugas baru sebagai orang yang input anggaran sekolah dengan alasan yang sama… masih muda… jago laptop… (now playing nissa sabyan – hmm… selama 1 jam)  di masa pimpinan ini gue ga terlalu masalah karena gue masih ada rasa “maklum” dan disupport juga oleh pimpinannya. Gue juga udah mulai berani jadi pimpin kegiatan setiap paginya… udah mulai tahu karakteristik rekan sejawat dan mulai gak terlalu pendiam…ada suaranya lah ya… lalu, di sini gue udah ga dibantuin sama O buat jadi pengurus barang karena dia pindah ketempat yang lebih baik dan gue “it’s oke.. no prob”  solo karir dimulai… hahaha…

Ganti pimpinan dan ini adalah masa-masa puncak gue mau tulis panjang lebar begini. Dua sekolah jadi satu, berarti gue harus berkenalan dengan karakter rekan sejawat lainnya. Perasaan mulai gak enak karena saat era pimpinan ini, solo karir pengurus barang mulai diuji :( karena gue aja baru masuk tahun 2015 tapi disuruh ngedata dari tahun 2012 sampai 2017 yang data harganya aja gue gak tau… barangnya di mana aja sekarang pun gak tahu… gue tanya sama yang “tua” cuma dibilang liat aja berkas yang lama… gak tahu pastinya… oh dud… berkas lama itu berantakan sekali dan gue harus rapihin itu semua? File nya ada sih… tapi berantakan dan gue yang harus benerin ini “sendirian” anyone can help me?  (now playing nissa sabyan – hmm… selama 1 jam) okelah gue maklum… apalagi si X yang harusnya membantu malah menyerahkannya sama gue… lah apalah gue… cuma anak muda yang harus diospek layaknya anak sekolah… gonta-ganti harga… edit sana-sini dan tak ada yang peduli bahkan termasuk pimpinan… sempet sih peduli tapi lebih sering dilempar ke J tapi dibalikin lagi sampai akhirnya gue berada pada titik jenuh , ko di sini begini amat ya?  Pernah ditawari sama pimpinan saat gue lagi masa-masa sulitnya ngurusin ini (yang bikin gue setiap semester semenjak di sini wajib mengeluarkan biaya lebih buat sekedar menjernihkan pikiran) mau dibantuin sama siapa? Dan akhirnya ga ada efeknya sama sekali… ujung-ujungnya gue sendiri yang ngerjain… 

Anggaran sekolah… sebenarnya yang harus menyusun itu kan pimpinan karena harus planning buat kedepannya dan gue cuma input aja, tapi ini malah gue yang sibuk nyusun juga layaknya gue pimpinan (ini tahun sebelumnya juga udah terjadi dengan pimpinan yang lama). Entah kenapa perasaan gue mulai risih dengan semua ini. Lagi-lagi dengan berlandaskan sudah tua, susah mikir, pusing, dkk Seakan pimpinan tidak mau tahu/tidak tahu apa saja isinya yang harus dibelanjakan sehingga akhirnya melenceng dan hitungannya banyak hutang puluhan juta. Memang sih uangnya tidak dipegang langsung sama dia tapi sama Z. Gue pun akhirnya cuma bisa mengelus dada dan perbanyak istighfar. 

Lambat laun, sikap pimpinan saat ini membuat gue semakin risih karena hampir setiap hari ngoceh-ngoceh tijel gitu. Menurut gue, Namanya juga anak sd wajar butuh waktu buat baris, rebut saat baris.. berbicara yang benar tanpa emosi jiwa kan bisa… jangankan anak… gue aja dengarnya males banget. Lalu, ada rapat ini itu… pergi kesana-kemari harus kah gue terus yang ditunjuk? Haruskah rekan sejawat yang lebih muda yang ditunjuk terus-terusan? Oke maklum… yang lain sudah tua… (jadi ingin baca lagi yang 180 derajat). Sikap arogansi emosional menggebu-gebu mulai terlihat yang mana seorang pimpinan percaya begitu saja dengan omongan orang lain dan langsung menuduh rekan sejawat di rapat terbuka tanpa mengkonfirmasi kebenarannya dulu. Sifat “pelit” yang sudah mulai tersebar di mana-mana. Berbicara kasar dengan rekan sejawat di tempat yang tidak seharusnya. Berkali-kali men-judge tanpa memberikan solusi dan ujung-ujung selalu memudahkan kata “minta maaf”. Tidak bisa membedakan tindakan terhadap siswa abk dengan yang normal sampai membuat orang tuanya tersinggung (mungkin sakit hati) dan lagi-lagi kata minta maaf terucap dan bilang kalau bercanda. 

Gue gak ngerti harus berkata apa, karena dia selalu menganggap kalau bicara dengannya bukan sebagai pimpinan tapi sebagai orang tua… bilang tidak minta dihormati terus-terusan tapi sebenarnya mau diperlakukan seperti itu. Damn! Entah di mana kesadarannya kalau pimpinan kali ini ada yang dijadikan perbincangan oleh orang tua dan siswa pun sudah bisa menilai sikapnya lalu hanya cerita kepada wali kelasnya. Dan ini hal yang menyebabkan gue mau tulis semuanya, kenapa kalau ada kegiatan… harus gue terus-terusan? Kenapa gak pilih yang lain? Kenapa ada pengistimewaan? Kenapa dia bilang tanggung jawab… masih muda… bla..blabla… kalau gue balikin lagi… kemana tanggung jawab dia sebagai pimpinan? Dia menuntut supaya bisa ini itu, dapat ini itu… tapi apa usahanya sebagai pimpinan untuk memperolehnya? NOL besar… kalau diibaratkan… dia mau anaknya bisa naik sepeda tapi gak dibeliin sepeda… apa jadinya coba? Dia mau perang.. jadi pemimpin pasukan… tapi dia ga punya strategi buat berhasil memenangkan perang…? Kesel? Pasti… kenapa gak diberikan pilihan untuk memutuskan… kenapa memaksakan gue harus menjawab IYA? Terus bingung gitu sebagai pimpinan kalau gue ga mau ikut? Heelloooowww….hellooww…helooowww… (now playing: kopi dangdut) rekan sejawat lain banyak… kalau cuma alasan yang urus anggaran sekolah… lah siapa aja bisa… itukan tanggung jawab sebagai pimpinan yang harusnya menyusun anggaran… ikut gak ikut wajib bayar… terus sayang duitnya? Oh… jadi lebih mementingkan “sayang uang” baiqueu… gue yang selama ini manut-manut aja akhirnya sudah mencapai tingkat kerisihan yang maksimal dan akhirnya mengeluarkan unek-unek di sini karena gue tahu pasti ada yang pro dan kontra atau mungkin senasib memiliki bos seperti ini walaupun berbeda bidang.

Kalau sikapnya seperti ini, gue jadi teringat sama PERBEDAAN BOSS DAN PEMIMPIN.
1. Pemimpin itu memimpin bukan menguasai
2. Pemimpin itu mendengarkan sebelum bicara, sedangkan bos itu memerintah
3. Pemimpin itu memotivasi bukan menanamkan rasa takut
4. Pemimpin itu mengajarkan dan belajar, bukan mengharapkan dan mengabaikan
5. Pemimpin itu selalu berpartisipasi aktif dalam lingkungan pekerjaannya
6. Pemimpin itu tidak pernah marah dengan membentak-bentak
7. Pemimpin itu membangun hubungan yang seimbang dengan anak buahnya



Intinya, pola pikir yang tua selalu benar, yang muda egois itu sudah mandarah daging dalam dunia kerja di tempat saya saat ini. Mau berhasil? Yuk kita mulai berkaca dulu mulai dari diri sendiri sampai paling atas yaitu pimpinan. UBAH MINDSET, TUA-MUDA HARUS KERJA SAMA SALING MELENGKAPI, BUKAN LUPUT KARENA USIA SEHINGGA SEMUA HARUS DILAKUKAN SAMA YANG MUDA. Mungkin di tempat lain tidak seperti ini dan ini hanyalah berbagi pengalaman dari gue. ~Sekian~

Salam! 



***
Kalau dikatakan nanti gue akan ada diposisi tersebut... iya pasti... kalau masa tua begini begitu... tapi setidaknya bukan dijadikan alasan untuk melemahkan diri sendiri. 
***
Seharusnya seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan yang luas tentang kepemimpinan termasuk memahami psikologi manusia.

Comments

Post a Comment